understanding common will

adnan mubarak, Jakarta 21 jumadil akhir 1430 h

kepemimpinan pada sebuah kelompok adalah sebuah keniscayaan. pola ini terbentuk secara alami pada setiap entitas kebersamaan yang ada. maka secara sederhana, menjadi pemimpin dan menjadi bagian yang dipimpin adalah sebuah hal yang pasti. kadang ada permasalahan yang timbul secara internal sebagai akibat ketidakpahaman kita terhadap kelompok kita sendiri

definisi kepemimpinan

menurut M.M Chemers, kepemimpinan merupakan salah satu proses mempengaruhi secara sosial dimana ada seseorang yang dapat mengoptimalkan bantuan dan dukungannya kepada yang lain dalam memenuhi tujuan bersama*.

melalui definisinya diatas kepemimpinan punya beberapa variabel penting didalamnya, pemimpin, kelompok, dan tujuan bersama. ketiga variabel penting ini, bukan sekedar pelengkap. namun melainkan penunjang satu sama lain. ketiadaan salah satunya adalah kecacatan yang tidak bisa diterima.

tiga variabel

kepemimpinan tanpa ada definisi kelompok yang jelas hanyalah retorika tak berkekuatan, kelompok tanpa adanya sosok pemimpin adalah komoditas berharga yang rawan exploitasi, dan kepemimpinan (kelompok dan pemimpin) tanpa adanya tujuan bersama hanyalah kumpulan manusia tanpa ujung dan arah.

dengan kata lain, perlu ada sinergitas untuk menciptakan kondisi ideal. kondisi dimana kepemimpinan benar-benar mampu memberikan optimalisasi daya guna kelompok dalam meraih tujuan bersama (common will). kenapa sinergitas? karena ketiga variabel ini sangat lah berbeda satu sama lain.

menjadi pemimpin tidaklah sama dengan menjadi yang dipimpin. serta posisi tujuan bersama yang kadang dilupakan dan bahkan hanya dijadikan slogan kebersamaan tanpa sadar akan potensi efektif yang dimiliki olehnya.

hambatan realistis

ironisnya kadang perbedaan antara ketiga variabel ini disalahartikan dan menjadi penyebab permasalahan umum dalam sebuah kelompok yang terpimpin.

secara nyata, kadang kita menemukan kelemahan yang unik dan biasa terjadi dalam sebuah kepemimpinan, yakni pemimpin yang dirasakan oleh kelompoknya kurang ‘membumi’ sehingga mengakibatkan kelompoknya tidak taat terhadap pemimpin yang telah kehilangan legitimasi tersebut.

sebenarnya, kedua gejala umum diatas saling berkaitan dan dapat diselesaikan melalui penggunaan konsepsi tiga variabel (pemimpin, kelompok, dan tujuan bersama) sebelumnya.

memahami permasalahan

menarik jika kita dapat mengambil sudut pandang yang menyeluruh dalam melihat problem diatas.

sebagai seorang pemimpin, kita mungkin akan memiliki keyakinan yang besar akan otoritas kita dalam kelompok, namun lupa bahwa otoritas (authority) tersebut hanya exist ketika kelompok yang kita pimpin sepakat dalam hal tersebut. sehingga dalam perpanjangannya, pemimpin tersebut akan kehilangan rasa kepedulian terhadap kelompok yang dipimpinnya. menjadikannya buruk dalam pandangan kelompok.

begitu juga sebaliknya, begitu kita berfikir sebagai bagian dari kelompok yang dipimpin oleh pemimpin yang telah kehilangan otoritasnya (secara sepihak) kita akan kehilangan semangat untuk mengikutinya, mendengarkan perkataannya, apalagi menjalani instruksinya. tanpa sadar bahwa sebenarnya pemimpin tersebut tidak mengerti apa yang kita alami sebagai yang dipimpin.

akumulasi kedua permasalahan diatas adalah ketidaksinergian antara pemimpin dan yang dipimpin. secara substansi, kelompok ini hanyalah terikat secara formal (jika itupun ada) namun berpecah didalamnya. hanya butuh satu guncangan kecil untuk meruntuhkan fondasi kebersamaan yang ada. naudzubillah. betapa rapuhnya kesatuan yang ada.

saving procedures

pada titik ini, variabel ketiga yakni tujuan bersama, bisa menjadi sebuah ‘paket penyelamatan’ kelompok yang rapuh ini.

karena dalam sebuah entitas kebersamaan, sering kita temukan adanya perbedaan persepsi serta permahaman. maka secara singkat dapat kita artikan bahwa perbedaan yang ada dan terbentuk termasuk pandangan antara masing-masing variabel adalah hal yang wajar.

butuh interseksi yang bisa menjembatani perbedaan ini, tidak lain hal tersebut adalah tujuan bersama. disadari atau tidak, pemimpin serta yang dipimpin punya kesamaan yakni, sama-sama punya kepentingan untuk meraih tujuan bersama.

how ‘common will’ works?

yakni tujuan bersama yang bisa memaksa pemimpin menuruti kelompoknya (demi tujuan) agar legitimasi nya sebagai seorang pemimpin kembali. membuatnya bisa lebih diterima oleh kelompoknya.

serta bisa pula memaksa yang dipimpin untuk memahami ketidak pengertian pemimpin tersebut hanyalah bagian dari akibat gaya kepemimpinan yang alami, yang manusiawi**. selanjutnya, tujuan bersama akan memaksa kelompok yang dipimpin untuk mengembalikan otoritas sang pemimpin, karena kebutuhan mereka akan kepemimpinan dalam meraih tujuan bersama.

masa sesudahnya

satu hal yang mesti diperhatikan, bahwa konsepsi mengenai common will ini juga berlaku pada skala yang besar selama masih terdapat ketiga variabel sebelumnya. seperti organisasi siswa, perusahaan, ataupun negara secara umum.

setelah semuanya, kita mesti memahami bahwa tantangan kelompok secara kolektif telah berubah menjadi bagaimana kita menumbuhkan sikap keterikatan yang saling pengertian dan kekeluargaan.

dengan kata lain, entitas tersebut sudah mencapai level yang berbeda dengan sebelumnya. menjadi lebih kuat dan lebih solid.

bangkitlah bangsaku, harapan itu masih ada!

wallahu a’lam bishawab

*Chemers, M. M. (2002). Cognitive, social, and emotional intelligence of transformational leadership: Efficacy and Effectiveness. In R. E. Riggio, S. E. Murphy, F. J. Pirozzolo (Eds.), Multiple Intelligences and Leadership.}
**ibid

faktor sinergitas ummat

tsiqah

Dalam struktur jamaah da’wah tentu ada pemimpin (qa’id) dan ada yang dipimpin (jundi). Keduanya harus memiliki tsiqah yang sehat secara timbal balik. Bagi para anggota, tsiqahnya adalah ketenangan hati kepada pemimpin (tsiqah bil qiyadah). Sikap ini tak akan lahir dari doktrin semata. Loyalitas anggota pada pemimpin, terbentuk dari sentuhan dan interaksi seorang anggota secara langsung kepada pemimpinnya, hingga tumbuh keyakinan akan kebersihan niat, kualitas moral, kapasitas pemikiran, dan keluasan wawasan pemimpin.

Sebaliknya, seorang pemimpin juga harus memiliki rasa tsiqah kepada para anggotanya. Para pemimpin harus percaya terhadap keikhlasan, kapasitas, kualitas, dan komitmen anggotanya. Tsiqah secara timbal balik seperti ini (tsiqah mutabadilah) yang akan memelihara kekuatan struktur da’wah karena dikendalikan oleh al-qaid al-mautsuq bihi wa jundi al-muthi (pemimpin yang dipercaya dan anggota yang taat).

Mengamalkan rasa tsiqah, membutuhkan kesabaran yang besar. Utamanya bila ada ketidakcocokan seorang anggota jamaah da’-wah dengan kebijakan pimpinannya, atau kebijakan da’wah secara umum.

Melontarkan gagasan, ide atau usulan merupakan sikap positif, sepanjang dilakukan secara proporsional dan benar. Namun, tak mesti sampai merasa hanya pendapatnya yang paling benar. Atau, boleh jadi benar, tapi jama’ah da’wah belum bisa menerimanya karena berbagai hal yang menghalangi penerapannya. Seperti kemampuan jama’ah yang terbatas, atau karena sedang memfokuskan perhatian pada masalah lain yang lebih penting.

Struktur jama’ah da’wah yang solid bukan berarti menolak sikap kritis. Sikap kritis dalam jama’ah da’wah adalah sikap kritis untuk hal-hal yang tidak ada wahyunya atau yang telah menjadi hasil syura.

karena itu, sikap yang mesti dihindari ialah adanya faqdus tsiqah (kehilangan kepercayaan) dari qiyadah kepada para jundinya.

ukhuwah

ukhuwah atau yang ditransliterasikan secara sederhana sebagai ikatan persaudaraan ini, bukan hanya ikatan yang bersifat ‘alamiah’ melainkan merupakan sebuah fitrah. fitrah bagi setiap muslim untuk menjalin ikatan persaudaraan yang dalam atas dasar islam. ikatan ini begitu kuat dan mampu berada diatas semua ikatan lain yang sifatnya lughawi (tidak memiliki nilai di hadapan Allah swt).

ukhuwah kemudian akan menghasilkan rasa kebersamaan. rasa kebersamaan yang terus dipertahankan kemudian akan mencapai puncak ketika munculnya itsar (rasa berbagi). ketika seorang muslim mau berbagi apa saja dengan muslim lainnya karena ikatan persaudaraan yang begitu kuat. hal ini telah dicontohkan oleh para sahabat.

apa yang mendasari ikatan tersebut ialah identitas muslim yang kolektif, karenanya hal tersebut (ukhuwah ) tidak membutuhkan interseksi atau titik kesamaan lain untuk menjadikan nya sebagai sebuah komunitas. karena islam itu sendiri juga merupakan identitas kebersamaan ukhuwah islamiyah.

amal jama’i

bertindak secara pribadi (individual) tentunya akan menghasilkan akibat yang berbeda dengan tindakan yang dilakukan secara berkelompok (kolektif). tindakan kolektif ini bisa disamakan dengan amal jama’i. dari konsep yang hampir sama ini, amal jama’i punya nilai lebih, yakni adanya unsur ‘amal’ yang dikedepankan. tindakan kolektif mungkin bisa berarti tindakan apa saja (terlepas baik dan buruknya). maka amal jama’i adalah amal yang dilakukan secara kolektif. dengan begitu ada nilai/hikmah kebaikan yang bisa diambil darinya.

tentu saja, konsep mengenai amal jama’i ini tidak lah kuno dan kaku. didalamnya dituntut keefisiensian dari kinerja partisipan dan juga sistematika tahapan. contoh sederhana, dalam sebuah kepanitian kegiatan amal ada yang bertindak sebagai perencana (planner), pelaksana (eksekutor), dan pengawas (supervisor).

mengacu pada konsep sebelumnya, maka hal diatas bisa digolongkan sebagai sebuah implementasi sederhana amal jama’i. yang perlu dipahami ialah bentuk amal jama’i adalah sebuah konsep. maka lingkup kerja dan ukuran yang dipakai bisa disesuaikan dengan realita yang ada. bisa jadi lingkup kerjanya adalah lingkungan sekolah, atau pun satu negara atau bahkan sedunia.

ruhul istijabah

ruhul istijabah (semangat menjawab seruan) adalah salah satu sikap yang ideal bagi seorang aktivis dakwah, hal tersebut menunjukkan kualitas aktivis secara komprehensif dan menyeluruh. baik dari segi militansi dan kepekaan akan lingkungan sekitar.

hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan dari Allah dan Rasul….(QS, 8:24)

berdasarkan dalil naqli diatas, ada kalimat yang mewajibkan yang sama seperti dalil yang menyerukan untuk berpuasa di bulan ramadhan.yakni kalimat ‘hai orang-orang yang beriman’.

perlu digarisbawahi, dakwah islam yang matang tidak hanya membutuhkan konsep, sistem, dan prinsip yang memadai tapi kualitas aktivis dakwah yang optimal sebagai penggerak bukan hanya alat.

bangkitlah bangsaku, harapan itu masih ada!

wallahu alam bishawab

Islamic Physicists Surpass Their Era

by Dr. Fahmi Amhar
(Head of Geomatics Research Bureau, National Coordinating Agency for Surveys and Mapping – Indonesia)

Moslems believe that any knowledge comes from God, and Qur’an is His Saying. Hence, as the source of knowledge, Qur’an is surely correct. So, what about knowledge regarding matter, energy, space-time and interaction of objects in this world, which often called as “physics”?

Some Moslems significantly say “Yes.” Hence emerge the term: “Islamic physics”. This is a number of theories or more precisely “hypotheses” from a physical law claimed by them “founds” in Qur’an. As an illustration, there is three examples here: (1). Theory that earth is the center of solar system (geocentric), even the universe, since Qur’an have never mention any verses (ayat) that expressing earth to revolves, but the sun, month and star are revolving the earth (QS 13:2, 14:33). This theory also supported by a notable Sheik from Saudi Arabia, that giving his religious advices that believing to heliocentric theory can plunge some one into heresy. (2) Theory that assert lodestone (magnetic iron) serves the purpose of energy generating which has no ending. This theory base on QS 57:25, expressing that God create iron which has a super strength in it. They (this theory proponents) interpret the strength as energy. (3) Theory about seven atmosphere layers, because Qur’an tell that rain fall from the sky (QS 35:27) meanwhile God was created seven skies (QS 41:12), so they interpret the rain happened at first sky layer.

Considering those theories and claims, they likely repeat what which been done by the mutakalimin (philosophy lover) in the past, that searches for a conclusion only based on assumption, even if the assumption comes from a Qur’an verse that interpreted subjectively. Of course, the mutakalimin way of thinking has never yield any real scientific breakthrough, let alone usable for practical matters.

The Moslem physicists in the golden era of Islam were people who educated from beginning of with basic Islamic tenets (aqidah). Typically, they have memorized Qur’an before reaching mature age (baligh). And they firmly comprehended that the nature has her own objective laws, that can be revealed when they conduct observation and research patiently and cautiously.

Ibn al Haytham (al-Hazen) was the pioneer of modern optics when he published his book in 1021 AD. He founds that the seeing process is about the fall of light into the eye, not because of the strength of eye-shaft as believed by people since Aristotle’s era. In his book, al-Haytham showed various means to build simple binoculars as well as simple camera (camera obscura).

It is interesting to know that al-Haytham did his optical experiment at the time of his house arrestment, after he failed to fulfill the duty from the Egypt Governor (Egypt Amir) to realize the Nile river dam project. Then, he was released after the Amir discovered that al-Haytham optical inventions were equal with his investments.

Ibn al-Haytham also the pioneer to starts a tradition of scientific method to test a hypothesis. It was 600 years precedes Rene Descartes, which assumed by others as the father of European Scientific Method in Renaissance era. The ibn al-Haytham’s scientific method started from empirical observation, formulation of problems, formulation of hypotheses, hypotheses tests with experiments, analysis of experiment results, data interpretation and conclusion formulation, and ended with publications. This publication then assessed by peer-review that enabling every people to traces and, when needed, repeats what have been done by a researcher. Peer review processes had become a tradition in the medical world since Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931 AD).

Ibnu Sina also known as Avicenna (980-1037 AD) had agreed with the concept of the limitation of light velocity. Ash Rayhan al-Biruni (973-1048 AD) also founds that light far quicker from voice. Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311 AD) and Kamaluddin al-Farisi (1260-1320 AD) gave the first correct explanation about rainbow phenomena.

In mechanics, Ja’far Muhammad ibn Mozes ibn Syakir (800-873 AD) hypothesized that celestial objects and “sky layer” are subject to the same physical laws, same with the earth.

Al-Biruni and latter al-Khazini developed experimental method in statics and dynamics, then also hydrostatics and hydrodynamics, that really important in constructing a bridge, barrage (dam), and ship.

In 1121M, al-Khazini in “Book of the balance of wisdom” suggested that gravitation and its potential energy changes, depends on the distance from the center of earth. He also explicitly differentiated between force, mass and weight. This invention is useful in constructing waterwheel.

Ibnu Bajah (Avempace) that passed away in 1138 AD argued that there will always be a reaction in every action. This theory is very influential in physics, including for Galileo and Newton, and hardly useful for calculating the strength manjaniq, which is a giant catapult that cannon alike.

Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165 AD) disagreed with Aristotle that said a constant force will yield a uniform motion, when he wrote in his book al-Mu’tabar that a constant force will yield acceleration (acceleration). Accordingly, acceleration is the average of velocity alteration.

Ibnu Rushd also known as Averroes (1126-1198 AD) is a mujtahid (learned scholar of Islamic sciences) in fiqih (Islamic law) and also a physicist, in one of his book he defined force as certain level of works which must be done to change kinectical condition of an dilatory object. So, Ibnu Rushd work is earlier 500 years from Newtonian classical mechanics.

All these illustrations indicates that Physical Islam –if there is one– is a physics that has passed a series of scientific method, which then proved to be applicable to practice. Physics as empirical science can be achieved by every researcher that posses passion on it, without reference to his/her faith. Factual truth of physics is not necessarily be supported by Qur’an and will not perturb any Qur’an verses or the other way, since both of them have different realms. Impelling that a physical fact fits in with a verse or the other way, in fact shows the poor understanding, in terms of the physical fact, or the contents of Qur’an it self. And all of these have never been experienced by the physicist in Islamic golden era.