ide besar nazi

Adnan mubarak, Jakarta 22 rabi’ul akhir 1430 H

Pasca perang dunia pertama, peta dunia berubah kontras. Jatuhnya daulah ustmani, pudarnya kekuatan beberapa negara kolonial pun turut mewarnai keadaannya. Namun sesuatu yang penting terjadi di jerman. Negara yang kelak akan memulai kembali perang dunia.

Nazi dan perang dunia kedua

sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian versailes yang pro sekutu, jerman pasca perang mengalami
masa resesi yang luar biasa. lalu tokoh-tokoh pergerakan di jerman mulai melihat ketidakjelasan masa depan jerman bila status quo dipertahankan. Puncaknya, di jerman terbentuk sebuah partai baru dengan
nama nazi yang menjargonkan perubahan keadaan di jerman.

Dipimpin oleh para pimpinan yang visioner dan inovatif, nazi mampu menggerakkan massa jerman secara masive dengan satu tujuan, yakni mewujudkan kejayaan bangsa arya di atas dunia.cita-cita yang unik namun ditunggu-tunggu oleh masyarakat jerman yang dilanda ketidakpercayaan diri akut akibat kekalahan perang. Mayoritas penduduk jerman akhirnya percaya bahwa superioritas ras arya adalah mutlak dan bisa diwujudkan bersama.

Dengan modal tersebut, nazi mampu merebut hati masyarakat jerman dan kemudian memulai perang dengan sekutu yang merupakan pemenang perang dunia pertama. Tidak berhenti sampai disitu, nazi dengan inovasi-inovasi revolutifnya mampu mencengangkan dunia dengan kemampuannya mengimbangi kekuatan militer sekutu yang gigantik.

Namun apa daya, perimbangan kekuatan militer nazi yang terjadi hanyalah euphoria sesaat. Dikarenakan superioritas di luar jerman membuat nazi lengah akan konsolidasi internal di dalam negeri. Akibatnya nazi mendapat pertentangan bahkan dari sebagian rakyat jerman itu sendiri. Hal tersebut otomatis menimbulkan situasi yang tidak menguntungkan bagi nazi dan jerman itu sendiri. akibatnya di akhir perang dunia kedua, jerman beserta nazi didalamnya harus tunduk di bawah kuasa negara-negara sekutu.

Nazi sebagai sebuah organisasi

Organisasi selalu memiliki unsur utama didalamnya yang tidak bisa di lepaskan. Termasuk adanya kesamaan ide atau cita-cia bersama. Nazi walaupun berbentuk partai, ia tetap dapat didefinisikan sebagai organisasi biasa. Organisasi yang juga pula memiliki cita-cita besar. Cita-cita atau ide itulah yang kemudian menjadi pengikat anggotanya. Menjadi determinasi kolektif nazi.

Terlepas dari ideologi yang chauvinistik, nazi merupakan salah satu contoh nyata dari sejauh mana sebuah cita-cita besar bisa menyatukan dan menggerakkan organisasi sekaligus. Entah baik atau buruk, pengaruhnya akan menggaung ke berbagai tempat. Karena dorongan yang begitu kuat untuk meraih cita-cita itu, berbagai invensi-invensi inovatif pun dihasilkan secara tidak sengaja. Memperbesar efek nyata yang dihasilkan di sekitarnya.

Karena pada kenyataan yang ada, kegunaan cita-cita dan ide bersama tidaklah sesempit prakiraannya. Namun lebih jauh, hal tersebut bisa juga digunakan untuk memberdayakan organisasi dan mengembangkannya melalui inovasi-inovasi berarti yang dihasilkan olehnya. Jadi deklarasi cita-cita atau ide besar bersama bukanlah sebuah agenda formalitas belaka melainkan salah satu bentuk strategi dalam memberikan motivasi pengembangan baik bagi individu terutama bagi sebuah organisasi. Apapun cita-citanya.

Namun ide dan cita-cita besar tidak akan pernah berkembang, jika tubuh yang menampungnya tidak sebesar idenya. Karena jika dilihat dari sejarah, ketidakpahaman itulah yang menyebabkan nazi mengalami kegagalan dalam mewujudkan ide besarnya. Ketidaksiapannya sebagai sebuah organisasi menyebabkan polemik di berbagai hal.

Oleh karena itu penting bagi setiap organisasi yang ada untuk mempersiapkan diri dengan mengembangkan konsolidasi di dalam, sejalan dengan ide atau cita-cita bersama yang dianut. kemudian bergerak teratur merentas jalan keberhasilan secara bersama-sama.

wallahu’alam bishawab

understanding common will

adnan mubarak, Jakarta 21 jumadil akhir 1430 h

kepemimpinan pada sebuah kelompok adalah sebuah keniscayaan. pola ini terbentuk secara alami pada setiap entitas kebersamaan yang ada. maka secara sederhana, menjadi pemimpin dan menjadi bagian yang dipimpin adalah sebuah hal yang pasti. kadang ada permasalahan yang timbul secara internal sebagai akibat ketidakpahaman kita terhadap kelompok kita sendiri

definisi kepemimpinan

menurut M.M Chemers, kepemimpinan merupakan salah satu proses mempengaruhi secara sosial dimana ada seseorang yang dapat mengoptimalkan bantuan dan dukungannya kepada yang lain dalam memenuhi tujuan bersama*.

melalui definisinya diatas kepemimpinan punya beberapa variabel penting didalamnya, pemimpin, kelompok, dan tujuan bersama. ketiga variabel penting ini, bukan sekedar pelengkap. namun melainkan penunjang satu sama lain. ketiadaan salah satunya adalah kecacatan yang tidak bisa diterima.

tiga variabel

kepemimpinan tanpa ada definisi kelompok yang jelas hanyalah retorika tak berkekuatan, kelompok tanpa adanya sosok pemimpin adalah komoditas berharga yang rawan exploitasi, dan kepemimpinan (kelompok dan pemimpin) tanpa adanya tujuan bersama hanyalah kumpulan manusia tanpa ujung dan arah.

dengan kata lain, perlu ada sinergitas untuk menciptakan kondisi ideal. kondisi dimana kepemimpinan benar-benar mampu memberikan optimalisasi daya guna kelompok dalam meraih tujuan bersama (common will). kenapa sinergitas? karena ketiga variabel ini sangat lah berbeda satu sama lain.

menjadi pemimpin tidaklah sama dengan menjadi yang dipimpin. serta posisi tujuan bersama yang kadang dilupakan dan bahkan hanya dijadikan slogan kebersamaan tanpa sadar akan potensi efektif yang dimiliki olehnya.

hambatan realistis

ironisnya kadang perbedaan antara ketiga variabel ini disalahartikan dan menjadi penyebab permasalahan umum dalam sebuah kelompok yang terpimpin.

secara nyata, kadang kita menemukan kelemahan yang unik dan biasa terjadi dalam sebuah kepemimpinan, yakni pemimpin yang dirasakan oleh kelompoknya kurang ‘membumi’ sehingga mengakibatkan kelompoknya tidak taat terhadap pemimpin yang telah kehilangan legitimasi tersebut.

sebenarnya, kedua gejala umum diatas saling berkaitan dan dapat diselesaikan melalui penggunaan konsepsi tiga variabel (pemimpin, kelompok, dan tujuan bersama) sebelumnya.

memahami permasalahan

menarik jika kita dapat mengambil sudut pandang yang menyeluruh dalam melihat problem diatas.

sebagai seorang pemimpin, kita mungkin akan memiliki keyakinan yang besar akan otoritas kita dalam kelompok, namun lupa bahwa otoritas (authority) tersebut hanya exist ketika kelompok yang kita pimpin sepakat dalam hal tersebut. sehingga dalam perpanjangannya, pemimpin tersebut akan kehilangan rasa kepedulian terhadap kelompok yang dipimpinnya. menjadikannya buruk dalam pandangan kelompok.

begitu juga sebaliknya, begitu kita berfikir sebagai bagian dari kelompok yang dipimpin oleh pemimpin yang telah kehilangan otoritasnya (secara sepihak) kita akan kehilangan semangat untuk mengikutinya, mendengarkan perkataannya, apalagi menjalani instruksinya. tanpa sadar bahwa sebenarnya pemimpin tersebut tidak mengerti apa yang kita alami sebagai yang dipimpin.

akumulasi kedua permasalahan diatas adalah ketidaksinergian antara pemimpin dan yang dipimpin. secara substansi, kelompok ini hanyalah terikat secara formal (jika itupun ada) namun berpecah didalamnya. hanya butuh satu guncangan kecil untuk meruntuhkan fondasi kebersamaan yang ada. naudzubillah. betapa rapuhnya kesatuan yang ada.

saving procedures

pada titik ini, variabel ketiga yakni tujuan bersama, bisa menjadi sebuah ‘paket penyelamatan’ kelompok yang rapuh ini.

karena dalam sebuah entitas kebersamaan, sering kita temukan adanya perbedaan persepsi serta permahaman. maka secara singkat dapat kita artikan bahwa perbedaan yang ada dan terbentuk termasuk pandangan antara masing-masing variabel adalah hal yang wajar.

butuh interseksi yang bisa menjembatani perbedaan ini, tidak lain hal tersebut adalah tujuan bersama. disadari atau tidak, pemimpin serta yang dipimpin punya kesamaan yakni, sama-sama punya kepentingan untuk meraih tujuan bersama.

how ‘common will’ works?

yakni tujuan bersama yang bisa memaksa pemimpin menuruti kelompoknya (demi tujuan) agar legitimasi nya sebagai seorang pemimpin kembali. membuatnya bisa lebih diterima oleh kelompoknya.

serta bisa pula memaksa yang dipimpin untuk memahami ketidak pengertian pemimpin tersebut hanyalah bagian dari akibat gaya kepemimpinan yang alami, yang manusiawi**. selanjutnya, tujuan bersama akan memaksa kelompok yang dipimpin untuk mengembalikan otoritas sang pemimpin, karena kebutuhan mereka akan kepemimpinan dalam meraih tujuan bersama.

masa sesudahnya

satu hal yang mesti diperhatikan, bahwa konsepsi mengenai common will ini juga berlaku pada skala yang besar selama masih terdapat ketiga variabel sebelumnya. seperti organisasi siswa, perusahaan, ataupun negara secara umum.

setelah semuanya, kita mesti memahami bahwa tantangan kelompok secara kolektif telah berubah menjadi bagaimana kita menumbuhkan sikap keterikatan yang saling pengertian dan kekeluargaan.

dengan kata lain, entitas tersebut sudah mencapai level yang berbeda dengan sebelumnya. menjadi lebih kuat dan lebih solid.

bangkitlah bangsaku, harapan itu masih ada!

wallahu a’lam bishawab

*Chemers, M. M. (2002). Cognitive, social, and emotional intelligence of transformational leadership: Efficacy and Effectiveness. In R. E. Riggio, S. E. Murphy, F. J. Pirozzolo (Eds.), Multiple Intelligences and Leadership.}
**ibid