Perubahan Iklim, Sebuah Momentum Kebangkitan

: analisis sosial atas pengaruh isu perubahan iklim terhadap masyarakat global dan Indonesia

Selama beberapa tahun terakhir, terjadi fenomena alam yang sulit untuk dijelaskan. Bahkan tidak sulit untuk merasakan adanya ketidaksesuaian cuaca dengan musim yang ada, serta temperatur umum yang semakin tinggi menyebabkan kondisi yang sangat tidak nyaman. Anehnya, hal ini pun terjadi secara global hampir di seluruh dunia.

Mungkin benar adanya, bahwa perubahan iklim telah menunjukkan beberapa gejala alaminya. Dalam sebuah jurnal yang dikeluarkan oleh Green Peace mengenai konsep penyelesaian isu perubahan lingkungan berjudul Working for the Climate, dikatakan bahwa isu perubahan lingkungan telah menjadi salah satu isu sentral dari politik internasional. Bahkan dibeberapa negara maju, permasalahan tersebut bisa jadi sangat populer.

Selain itu, dinyatakan pula bahwa pengeksplorasian sumberdaya alam yang berlebih dan business oriented merupakan penyebab utama akselarasi perubahan iklim. Permasalahan ini menjadi lebih kompleks, ketika terjadi selisih paham mengenai perumusan resolusi menghambat perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Apakah dengan penggunaan energi alternatif seperti yang diusulkan oleh beberapa organisasi lingkungan ataukan penggunaan energi nuklir dengan standar ketat seperti yang diusulkan oleh beberapa negara industri maju?[1]

Apapun perkembangan yang terjadi pasti, akselarasi perubahan iklim ini bisa jadi merupakan sebuah akumulasi dari seluruh tindak nonefektif dalam pengelolaan keadaan lingkungan selama ini. Karena iklim yang dahulunya dipahami sebagai sesuatu yang statis, kini telah menjadi begitu dinamis dan tidak dapat diprediksi.

Hilangnya Batasan Ideologi

Sebagai tindak lanjut atas isu tentang perubahan iklim yang terus berkembang secara global, lembaga internasional seperti PBB pun memberikan resolusinya sendiri.

Tergerak dari pembentukan Protocol Kyoto tahun 1997[2], PBB kemudian membentuk United Nations Framework to Convention of Climate Change (UNFCCC) yang dimulai di Nusa Dua, Bali pada akhir 2007 dan akan berlanjut terus dengan pertemuan di Copenhagen, Denmark akhir 2009. Walau kurang memuaskan, yang jelas serangkaian pertemuan tingkat tinggi tersebut telah menjadi bukti bahwa di tingkat internasional masalah mengenai lingkungan sudah menjadi permasalahan yang sangat serius.

Uniknya dalam keanggotaan yang ada, terjadi sebuah integrasi yang sulit dipahami secara politis. Dimana negara-negara yang sedang berseteru ataupun bersebrangan paham mampu menyamakan sikap atas permasalahan lingkungan ini. Dimana negara-negara berideologi kapitalis mampu bersanding dengan negara-negara berideologi sosialis.

Dengan hanya persamaan dari segi platform dalam hal isu lingkungan, seluruh negara anggota konvensi ini mampu melepas sementara identitas ideologis yang ada dan mendukung setiap rencana kebijakan UNFCCC seperti mendukung Clean Development Mechanism (CDM) serta mengkampanyekan Reducing Emission from Deforestation in Developing countries (REDD)[3] walaupun dengan permintaan pelonggaran standar.

Dalam konteks tertentu, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan isu perubahan iklim punya dampak yang sangat signifikan. Mengingat bentuk permasalahan yang ada juga bukan merupakan hal yang biasa terjadi.

Di sinilah peran isu perubahan iklim sebagai musuh bersama (common enemy) telah berfungsi dengan baik, dengan cara menghilangkan batasan dan dikotomi ideologi yang sering menjadi masalah tersendiri. Sebagai pembuktian lain, berbagai gerakan lintasnasional pun banyak yang terbentuk.

Dengan kesamaan gejala di seluruh dunia, dimana kebanyakan anggota-anggota dari gerakan tersebut merupakan anggota masyarakat yang masih berusia muda. Serta, bertambah pesatnya perkembangan beberapa organisasi lintasnegara yang sebelumnya sudah terbentuk. Khususnya dalam hal kuantitas anggota yang sangat besar dan multietnis.

Hal ini tidak dimungkinkan jika tidak adanya konsistensi para aktivis lingkungan dalam mengampanyekan isu lingkungan khususnya isu mengenai perubahan iklim.

Birokrasi Ramah Lingkungan

Di tingkat negara, fenomena akan perubahan sosial juga terjadi. Dimana yang berperan besar dalam kampanye perubahan iklim tidak hanya masyarakat serta aktivis lingkungan, namun kini juga melibatkan pemerintah.

Hal ini menanda dimana birokrasi kini telah berubah dari penghambat dukungan terhadap isu-isu lingkungan menjadi alat untuk mengkampanyekan lingkungan. Walaupun kadang dalam permasalahan lingkungan lain – diluar perubahan iklim –birokrasi tetap saja menyulitkan. Hal ini ditandai dengan giatnya pemerintahan tingkat eksekutif dan mulai terbentuknya komitmen akan penyelesaian setiap permasalahan lingkungan. Walaupun kadang masih menemukan pertentangan dengan beberapa organisasi lingkungan yang masih menganggap bahwa pemerintahan secara umum – khususnya negara-negara maju— masih ragu dalam menentukan batasan teknis.

Biar bagaimanapun, perubahan yang evolutif ini harus dijaga keberlangsungannya untuk perbaikan sistem pengelolaan alam secara global. Saya rasa tidak sulit untuk terus mengingatkan pemerintahan, dimanapun di seluruh dunia.

Demi menjaga komitmen yang mulai tumbuh. mengingat isu perubahan iklim yang bersifat menyeluruh, pihak-pihak yang bersebrangan pun akan mudah untuk melibatkan diri didalamnya. Dengan harapan di masa depan, isu mengenai lingkungan akan terus dikategorikan sebagai permasalahan yang penting untuk di bicarakan secara lebih terkonsentrasi dibanding sebelumnya di tingkat internasional.

Sama seperti sebelumnya, pengaruh ini juga tidak bisa terjadi kalau bukan karena konsistensi pergerakan aktivis lingkungan yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Iklim Berubah, Manusia Juga Berubah

Perlu kita ingat bahwa pada dekade sebelumnya, masalah mengenai pengelolaan lingkungan belum menjadi masalah yang benar-benar diperhatikan oleh masyarakat global. Walaupun pada dekade 1980-an kampanye mengenai lingkungan juga marak, namun konteks penyebabnya jelas berbeda dengan yang sekarang.

Dimana dahulu kondisi perang Vietnam dan perang dingin yang memaksa perlombaan senjata—terutama nuklir—yang menjadi penyebab, maka kini yang menjadi penyebab adalah akumulasi semua ketidaktepatan pengelolaan lingkungan yang ditandai dengan terjadinya beberapa fenomena lingkungan yang tidak biasa. Serta tidak sesuai dengan apa yang kita pahami tentang lingkungan sebelumnya.

Beberapa sosiolog bermahzab geografi dan ekologi, termasuk E. Huntington menjelaskan dalam bukunya Civilization and Climate[4], bahwa iklim walaupun termasuk faktor statis, juga mempengaruhi manusia, bukan hanya pada soal distribusi kewilayahan dimana terjadi klasifikasi daerah iklim, namun juga dalam hal sosial kemasyarakatan bahkan kebudayaan.

Melalui pendapatnya, dapat disimpulkan bahwa kondisi masyarakat secara umum memiliki keterkaitan dan hubungan dengan iklim yang ada. Tanpa disadari, kini bukan hanya iklim yang telah berubah, manusia juga mengalami perubahan. Mulai dari konsepsi sosial mengenai lingkungan itu sendiri, serta kebiasaan sosial yang mulai mengalami pergantian.

Sekali lagi, ini juga dimungkinkan dengan adanya konsistensi yang serius dari aktivis lingkungan yang telah membentuk pergerakan sebelumnya.

Isu Pemersatu yang Efektif

Seperti teori sebelumnya yang menyatakan bahwa perubahan iklim tidak hanya merubah keadaan alam disekitar kita, namun juga kondisi kemanusiaan secara sosial kemasyarakatan. Mengacu pada hal tersebut maka perubahan iklim juga perlu dimaknai sebagai sebuah momentum sosial. Momentum sosial akan terjadinya persatuan semua golongan yang berbeda.

Apapun diferensiasi etnisnya ataupun stratifikasi profesinya. Hal ini dikarenakan fungsi-fungsi isu perubahan yang begitu efektif di tingkat internasional. Seperti fungsi isu sebagai interseksi penghilang batasan ideologis serta bentuk permasalahannya yang umum, mampu menarik beberapa pihak yang berbeda latar belakang –sosial, budaya, dan ekonomi – untuk bergabung membentuk sikap yang sama.

Dalam konteks lokal, Indonesia merupakan sebuah negara dengan sifat yang begitu multikultur dan sangat rentan akan perpecahan, juga membutuhkan isu pemersatu.

Maka isu mengenai perubahan iklim ini, dapat dijadikan sebagai sebuah momentum persatuan bangsa sekaligus memacu kebangkitan generasi kepemudaan yang ada. Seperti pergerakan aktivis kepemudaan lintasnegara di bidang lingkungan yang juga berkembang pesat.

Perubahan Iklim, Sebuah Momentum Kebangkitan

Perlu diingat, bahwa posisi Indonesia dalam konvensi tentang isu lingkungan ini cukup sentral dan penting. Dimana secara ekologis, Indonesia serta Brazil dianggap sebagai beberapa negara yang mampu menjadi ‘aktor’ penyelamat dalam isu lingkungan yang ada.

Berdasarkan bekal pengetahuan dan keadaan ekologis yang memadai[5], seharusnya pemerintahan Indonesia kini harus memperbaiki seluruh tindak pengelolaan dan kebijakan pengawasan lingkungan. Agar Indonesia mampu secara benar, mendukung dan dapat memberi contoh berkaitan resolusi perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Walau mungkin tidak akan berdampak besar, karena mengingat posisi Indonesia yang lemah akhir-akhir ini akibat isu terorisme, yang jelas tindakan reformasi kebijakan lingkungan ini mungkin dapat memberikan inspirasi kepada negara-negara lainnya. Hal ini dimungkinkan, jika saja pemerintahan Indonesia dengan efektif mampu menerjemahkan isu perubahan iklim yang terjadi di tingkat global ke tingkat nasional atau bahkan daerah.

Dengan begitu Indonesia dapat bergerak secara multilinial. Akhir kata, pemerintahan serta masyarakat Indonesia – khususnya pemuda – juga harus memantapkan posisinya di mata internasional melalui sumbangan ide dan kampanye efektif terhadap isu perubahan iklim ini.

Dengan modal pengetahuan yang cukup matang dan kondisi ekologis yang sangat menguntungkan, maka tidak sulit jika kemudian Indonesia bisa menjadi negara pelopor sekaligus pemimpin perserikatan negara-negara dalam menghadapi isu perubahan iklim dimasa yang akan datang. Mungkin agak oportunis dan narsistis, namun jika kita bicara tentang lingkungan.

Sudah sepatutnya Indonesia bangkit bersatu melepas identitas politis dan ekonomi di internal negara, lalu mengambil bagian di kancah internasional. Karena isu perubahan iklim adalah sebuah momentum kebangkitan. Kebangkitan Indonesia raya.

—————-

footnote:

[1] Greenpeace International, European Renewable Energy Council (EREC). Working For The Climate: renewable energy & the green job [R]evolution, August 2009

[2] berdasarkan pada hasil dari conference of parties III yang diadakan di Kyoto, Jepang tahun. Tentang pengurangan emisi serta penanggulangan secara berkesinambungan tentang isu lingkungan

[3] salah satu butir kebijakan dari konvensi kerja perserikatan bangsa-bangsa untuk perubahan iklim (UNFCCC) di Bali, Indonesia tahun 2007

[4] Huntington, Ellsworth. Civilization and Climate. New Haven: Yale Univ. Press, 1915.

[5] hal ini bahkan jadi bahan pertimbangan diputuskannya Undang-undang No.17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change